README FIRST

Jangan heran apabila dalam blog ini ada ide di sebuah posting yang bertentangan dengan posting yang lain. Semua posting ini ditulis oleh orang yang sama yaitu saya. Tetapi posting yang ditulis tahun 2013 ke depan ditulis oleh saya yang sudah tercerahkan oleh berbagai pengalaman hidup. Dari diliput oleh koran luar negeri, kehilangan teman yang tewas tertembak dalam kerusuhan Ambon 2011, sampai melancong ke belahan lain dunia ini, semuanya itu membentuk sebuah pemikiran yang berbeda dari sebelumnya.

30 April 2009

Puisi De Santos (3)

Teriakan Kami

Kami ditindas
Hampir rata digilas
Kami ditekan
Beban berat diemban
Kami dibungkam
Tertiup bagai sekam
Hidup kami dipaksa
Mati kami tak kuasa
Kami diinjak-injak
Kami harus bertindak!

De Santos, Sept 2008

Berbeda dengan dua puisi sebelumnya, puisi kali ini adalah sesuatu yang ekspresif, bukannya sekedar permainan kata-kata. Dapat dilihat dengan jelas apa yang sedang saya rasakan pada saat saya membuat puisi tersebut. Pada saat itu, ada rasa tak enak yang mengganjal di hati saya. Namun setelah saya tumpahkan dalam bentuk puisi, hati saya agaknya terasa lega. Apabila Anda sedang merasa kesal ataupun tak karuan, jangan menyakiti diri sendiri atau orang lain, lebih baik lampiaskan perasaan Anda pada selembar kertas atau sehalaman microsoft word. Yang akan Anda hasilkan bukanlah luka dan kerusakan, tapi sebuah karya yang benar-benar merupakan seruan jiwa.

8 komentar:

  1. dy...
    teriakan akan keadilan terkadang bukan jaminan untuk mendapatkan keadilan, yang menjadi permasalahan saat ini adalah "apakah hidup anda telah mengalami keadilan yang sebenarnya jika hal yang perlu anda ketahui saat ini masih belum terungkap? mari kita kritisi. jangan hanya teriak aja, satukan hati kita untuk sama seperti Salomo menegakkan keadilan.

    BalasHapus
  2. Mbah....
    indah, Mbah....
    serasa terasa...
    tp knp 'kami', Mbah?

    BalasHapus
  3. dalem banget artinya..
    lagi kesel boleh juga tuh..
    ide yg cemerlang..
    tapi sy gak begitu pintar main kata2.. sih.. hi..3x..

    BalasHapus
  4. (dipindahkan oleh De Santos dari comment Facebook May 6 jam 10.20)
    Bagus..bagus, masa "arus ketidaksadaran" tidak akan datang selamanya. Gunakan itu untuk berkarya.

    BalasHapus
  5. (dipindahkan oleh De Santos dari message Facebook May 11 jam 15.10)

    Puisi Teriakan Kami memang ekspresif. Puisi macam ini telah lahir pada masa Chairil yang dilanjutkan pada puisi-puisi taufiq Ismail. Biasanya, puisi corak demikian berguna sejati untuk meneriakkan suasana hati. Puisi ini juga bisa mewakili kaum proletar dalam melawan kesewenangan kaum penguasa atau borjuis.

    BalasHapus
  6. Puisinya enak, pendek n ngena..
    semoga pas baca lagi bukan ingat sedihnya pas bikin tapi ingat cara ngelewati masa sedih itu..peace...

    From Pipi

    BalasHapus
  7. Setuju dengan Pak Abednego,
    jika diamati, puisi ini "beratmosfer" yang sama dengan masa Cairil.
    Si penulis menjadi bagian dari kaum tertindas. Namun bedanya dia membuat aksi, membela kaum tertindas. Tidak hanya duduk diam dan tidak mau menunjukkan perasaan sebenarnya.

    Salut untuk Dwi :)
    hehehe..
    btw pada masa "itu" aku juga bikin beberapa puisi untuk menumpahkan rasa sakit hati pada saya pada sebuah bentuk "penindasan".
    Namun bedanya saya hanya menuliskannya pada sebuah buku tulis saja.
    hahahaa...
    saya hanya duduk diam saja....
    berbeda dengan kamu...

    BalasHapus
  8. cm bisa bilang 2 kata "BAGUS BANGET"

    BalasHapus