README FIRST

Jangan heran apabila dalam blog ini ada ide di sebuah posting yang bertentangan dengan posting yang lain. Semua posting ini ditulis oleh orang yang sama yaitu saya. Tetapi posting yang ditulis tahun 2013 ke depan ditulis oleh saya yang sudah tercerahkan oleh berbagai pengalaman hidup. Dari diliput oleh koran luar negeri, kehilangan teman yang tewas tertembak dalam kerusuhan Ambon 2011, sampai melancong ke belahan lain dunia ini, semuanya itu membentuk sebuah pemikiran yang berbeda dari sebelumnya.

29 April 2013

Indon versus Malay


Hubungan Indonesia dan Malaysia sebagai sesama negara ASEAN dan serumpun bisa dibilang baik-baik saja di permukaan namun menyimpan rasa sentimen di bawahnya. Segala macam kasus mulai dari penyiksaan TKI, perebutan pulau perbatasan, sampai pengklaiman budaya membuat banyak orang Indonesia tidak suka terhadap Malaysia. Ditambah lagi adanya sebutan 'indon' yang kerap diucapkan oleh orang Malaysia membuat orang Indonesia merasa direndahkan. Sebagai orang Indonesia, awalnya saya pun memiliki perasaan tidak suka terhadap Malaysia. Tentu hal itu sangat subjektif sekali. Kalau dipikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka maka kita pun akan melihat permasalahan dengan lebih objektif.

Sebelum lebih jauh, marilah kita melihat perbandingan antara Indonesia (INA) dengan Malaysia (MAS).

Penduduk INA: 237,424,363 (sensus 2011)
Penduduk MAS: 28,334,135 (sensus 2010)

Gross Domestic Product INA:  928.274.000.000.000 dollar AS
Gross Domestic Product MAS: 307.718.000.000.000 dollar AS

Pendapatan Per Kapita INA:    3.910 dollar AS
Pendapatan Per Kapita MAS: 10.578 dollar AS

Mata uang INA: Rupiah (sekitar 10.000,00 per $1)
Mata uang MAS: Ringgit (sekitar 3,2 per $1)

(Sumber: wikipedia)

GDP Indonesia memang besar, oleh karenanya dimasukkan dalam negara G-20. Tapi tidak perlu terlalu dibanggakan karena indikator kaya miskinnya sebuah negara lebih pada pendapatan per kapitanya. Dapat dilihat di atas bahwa pendapatan per kapita Indonesia kalah jauh dengan Malaysia. Itulah alasan mengapa TKI-TKI tetap saja nekat mengadu nasib di negeri jiran meski banyak berita-berita tentang nasib TKI yang tidak mengenakkan datang dari sana. Untuk masalah TKI ini saya punya sebuah teori, yaitu teori "senjata makan tuan".


Ternyata di Malaysia, sinetron-sinetron Indonesia sangat laris ditonton orang! Ya, sinetron-sinetron yang sering dihina di dalam negeri itu ternyata menjadi sajian populer di negeri tetangga. Bahkan dalam episode Upin dan Ipin, sang nenek sedang asyik menonton drama TV dengan percakapan "gw elu gw elu". Begitu saya sendiri berkesempatan untuk melancong ke Pulau Penang saya pun menyaksikan sendiri sinetron Indonesia diputar di Penang State Museum dan petugas sekuriti museum itu nampak asyik sekali menikmati tontonan tersebut.

Sinetron Indonesia sedang ditayangkan di TV Malaysia
Lalu apa yang dimaksud dengan 'senjata makan tuan'? Sinetron Indonesia identik dengan kekerasan dalam rumah tangga. Berbeda dengan drama-drama oriental yang biasanya masih menunjukan sisi manusiawi dari tokoh antagonis, dalam sinetron tokoh antagonis bagaikan iblis yang tidak memilki hati nurani. Sewaktu SMA dulu saya pernah menonton sinetron Bawang Merah Bawang Putih (terpaksa karena TV-nya cuman satu, dan mamah saya yang pegang remote controlnya). Saya melihat adegan yang sangat kejam, yaitu ketika si bawang merah menyiramkan air panas ke tangan si bawang putih. Saya bisa memaklumi acara-acara barat yang mengandung banyak kekerasan yang diputar tengah malam. Tapi sinetron ini ditayangkan sekitar jam 19.00!

Jadi menurut teori saya, kekerasan yang dilakukan terhadap para TKI tidak terlepas dari nilai-nilai kekejaman di dalam sinetron yang kita ekspor ke Malaysia. Memang ini sebatas teori dan belum ada studi untuk membuktikannya. Barangkali setelah membaca posting ini, Anda mau memulai penilitian tentang hal tersebut. Anyway, saya tidak mengatakan bahwa semua orang Malaysia itu kejam (akibat pengaruh sinetron). Teman-teman Malaysia saya dan orang-orang di jalan yang saya temui sepanjang dua kali perjalanan ke Malaysia baik-baik kok. Ya, setidaknya punya kesadaran sosial yang lebih tinggi (dalam mengantri dan membuang sampah misalnya) daripada orang-orang di negara saya sendiri.

Saya penggemar sepakbola. Emosi saya terpancing ketika timnas dikalahkan oleh Malaysia di final Piala AFF 2010. Saya pikir Malaysia akan semakin menginjak-nginjak negara kita kalau menang. Tapi kemudian saya berpikir dengan lebih jernih dan saya dapat melihat bahwa memang timnas belum pantas menang. Isu kecurangan yang dilakukan oleh pendukung Malaysia ketika pertandingan first leg di Kuala Lumpur marak dibahas di media massa. Pasalnya mereka menggunakan laser yang menyilaukan mata dari kiper timnas sehingga tidak dapat bermain maksimal. Namun, pembahasan di media dalam negeri kurang berimbang. Saya lalu melihat tayangan ulang pertandingan penyisihan grup ketika Indonesia berhasil melibas Malaysia di kandang. Ternyata pendukung timnas-lah yang terlebih dahulu melakukan hal tidak sportif tersebut! (Udah gitu lasernya lebih gede lagi...) Di samping itu, melihat kisruhnya kepengurusan persepakbolaan dalam negeri membuat saya semakin menerima kekalahan timnas dari Malaysia.

Untuk masalah klaim budaya, mungkin banyak dari kita yang lupa kalau banyak orang Jawa, Bugis, Minang, dan suku-suku yang lainnya telah hijrah ke negeri jiran di masa lampau dan sekarang telah menjadi warga negara Malaysia. Jadi tentunya mereka pun membawa kebudayaan nenek moyang mereka dan kebudayaan itu memperkaya kebudayaan negara dimana mereka tinggal. Malaysia juga mempromosikan kebudayaan Cina dan India yang mereka miliki (karena banyak orang Cina dan India di sana), tetapi baik Cina maupun India tidak ada yang tersinggung dengannya.

Masalah gampang tersinggung memang tidak lepas dari faktor ekonomi. Indonesia sebagai negara miskin (jangan bilang negara kaya ya) pastilah memiliki perasaan yang sangat sensitif. Seperti sebutan 'indon' yang dianggap menghina padahal kebanyakan maksudnya adalah untuk menyingkat nama yang terlalu panjang (seperti menyingkat Malaysia jadi Malay, Brunei Darussalam jadi Brunei dsb). Sebenarnya bukan hanya orang Malaysia yang suka menyingkat nama Indonesia. Waktu saya pergi ke Thailand, mereka pun lebih suka bilang 'In-do' (dua suku kata) dibanding 'In-do-ne-sia' (empat suku kata).

Saya akui memang ada segelintir orang Malaysia yang mengatakan 'indon' untuk maksud menghina. Namun itu hanyalah dari kalangan 'alay' yang tidak bisa dianggap mewakili sebuah negara. Bodoh sekali jika kita sampai terpancing oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab seperti itu. Kan katanya Indonesia kakak serumpunnya Malaysia (mungkin dengan alasan merdeka duluan atau karena Bahasa Melayu asalnya dari Riau), haruslah kakak lebih dewasa dari adiknya dong, bukan sebaliknya seperti yang terjadi sekarang ini. Marilah saudara-saudara indonku, lebih dewasa lebih berkepala dingin dan lebih objektif dalam menilai segala sesuatu.

2 komentar:

  1. Malaysia benci Indonesa kerna alasan2 itu?? Spt nya org Indonesia ni otaknya kecil banget ya. Alasan alasan spt my father got a bigger car than your father. Alasan anak kecil.

    Org Indonesia memberi alasan alasan ciptaan sendiri kerna kalian ada masalah inferiorty complex. Begitu kalian membenci Malaysia, tp tetap berduyun duyun dtg ke Malaysia walaupun lewat jalan tikus. Ramai juga org Indonesia yg sanggup berbuat apa apa utk mendapatkan KTP menjadi warga Malaysia. Tepuk dada Tanya selera. Fikir fikirkan sendiri.

    BalasHapus
  2. Hai kawan Anonim, Anda harus baca artikel di atas dengan lebih teliti. Saya tidak mengatakan Malaysia benci Indonesia (mungkin yang kamu maksud 'Malaysia dibenci Indonesia'). Justru sebaliknya, saya hendak menyadarkan orang-orang Indonesia yang benci Malaysia dengan beberapa alasan yang telah disebutkan di dalam artikel yang saya rasa tidaklah tepat. Semoga di masa depan lebih banyak rakyat yang terdidik (well-educated) dan memahami setiap permasalahan dengan lebih objektif sehingga ketegangan di antara kedua negara bisa diredakan.

    BalasHapus