README FIRST

Jangan heran apabila dalam blog ini ada ide di sebuah posting yang bertentangan dengan posting yang lain. Semua posting ini ditulis oleh orang yang sama yaitu saya. Tetapi posting yang ditulis tahun 2013 ke depan ditulis oleh saya yang sudah tercerahkan oleh berbagai pengalaman hidup. Dari diliput oleh koran luar negeri, kehilangan teman yang tewas tertembak dalam kerusuhan Ambon 2011, sampai melancong ke belahan lain dunia ini, semuanya itu membentuk sebuah pemikiran yang berbeda dari sebelumnya.

16 April 2014

Sains itu JAHAT

Mungkin kerap kali kita mendengar pernyataan bahwa sains itu bisa digunakan manusia untuk kebaikan maupun kejahatan. Namun dalam artikel kali ini penulis akan menunjukkan bahwa sains itu adalah sesungguhnya JAHAT dan JAHAT saja.

Definisi Sains
Sebelum masuk lebih jauh, rasanya perlu untuk mengkonfirmasi bahwa sains dimaksud di sini lebih kepada apa yang sering disebut sebagai Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di sekolahan, bukan social science atau pengetahuan umum. Namun, sejatinya ilmu itu saling terintegrasi. Di majalah sains populer National Geographic kita dapat menyaksikan bahwa ilmu Geografi tidak terpisahkan dari ilmu sosial lainnya seperti Ekonomi, Sosiologi dan Sejarah. Bahkan ia saling terhubung juga dengan Biologi, Fisika, dan Kimia. Gampangnya. ilmu terintegrasi yang merupakan isi dari National Geographic itulah sains yang dimaksud penulis di artikel ini.

Hasil Penemuan Sains
Sains identik dengan penemuan. Ya, ketika manusia memahami konsep-konsep dalam sains sangat memungkinkan baginya untuk menghadirkan penemuan atau teknologi baru -yang katanya membuat hidup manusia menjadi lebih baik-. Contohnya, setelah memahami prinsip-prinsip hukum alam tertentu, manusia dapat menciptakan pesawat terbang.
Ilustrasi Bom Atom

Nah, mengapa sains itu jahat? Mari kita lihat dari buah-buahnya alias penemuan-penemuannya. Contoh umum yang diberikan terkait penemuan sains yang berdampak buruk adalah bom atom yang terbukti dapat menyebabkan kerusakan yang begitu parah pada saat meledak dan bahkan setelahnya. Tak diragukan lagi pendapat umum menyatakan bom atom ini jahat. Pada kenyataannya, bukan hanya bom atom dan teknologi penghancur sejenisnya yang merupakan hasil jahat sains. Semuanya jahat karena pada dasarnya  sains adalah jahat.

01 April 2014

Teori Evolusi, Fakta atau Fiksi?

oleh: Dwi Santosa, filsuf

Ketika menanggapi tentang isu teori evolusi, dulu biasanya saya hanya dengan enteng akan mengatakan, "itu kan hanya teori, baru dugaan. Belum tentu benar." Akan tetapi oleh ilmuwan (khususnya di negara-negara maju), teori evolusi ini dinyatakan sebagai fakta. Dan oleh karena itu teori evolusi wajib diajarkan sebagai fakta di sekolah-sekolah (terutama di negara maju) bukannya lagi sekedar sebagai proposal gagasan.

Kita harus memahami terlebih dahulu kata 'fakta' secara ilmiah. Fakta ilmiah merujuk pada data-data eksperimen ataupun pengamatan objektif yang dapat diverifikasi. Fakta ilmiah harus didukung bukti-bukti yang banyak dan kuat. Ada dua jenis fakta ilmiah. Yang pertama berdasarkan pengamatan empiris yang diverifikasi dan yang kedua merupakan hipotesis yang didukung oleh bukti. Hipotesis sendiri adalah penjelasan spekulatif yang terorganisir dengan baik.

"Fakta merupakan hipotesis yang secara kuat didukung oleh bukti-bukti yang kita asumsikan benar" -Douglas Futyuma-

"There is no sharp line between speculation, hypothesis, theory, principle, and fact, but only a difference along a sliding scale, in the degree of probability of the idea. When we say a thing is a fact, then, we only mean that its probability is an extremely high one: so high that we are not bothered by doubt about it and are ready to act accordingly. Now in this use of the term fact, the only proper one, evolution is a fact." -H. J. Muller-

Maka dengan definisi fakta ilmiah yang seperti ini, para ilmuwan memang bisa mengatakan bahwa teori evolusi merupakan sebuah fakta. Namun harus diingat bahwa "fakta" di sini tidaklah berarti "kepastian absolut". Secara ilmiah, para ilmuwan seharusnya tahu bahwa mereka tidak pernah mengetahui segala sesuatunya dengan kepastian yang absolut. Bahkan pengamatan empris pun bergantung pada asumsi dasar bahwa indera dan instrumen pengukuran yang kita gunakan adalah benar. Jadi dalam sains, keseluruhan fakta bersifat sementara saja.